Menggapai Langit Mencengkeram Matahari

Kamis, 20 Januari 2011

GUNUNG DAIK 1.165 MDPL

Pulau Pandan Jauh Ke Tengah, Gunung Daik Becabang Tige
Ancur Badan Dikandung Tanah, Budi Baik Dikenang Juge

 

Kamis, 02 Oktober 2008

Suara adzan subuh berkumandang di seluruh penjuru Batam khususnya daerah Mukakuning, membangunkan setiap insan yang masih terlelap dalam mimpi indah dihari kedua Idul Fitri 1429 H. Pukul 06.30 wib kami sudah siap untuk meluncur ke Pelabuhan Punggur dan bertemu dengan Babeh disana. Taksi yang kami tumpangi melaju cepat di jalanan kota Batam, terlihat mulai ramai dengan kendaraan yang mungkin akan mengunjungi saudara-saudaranya untuk bersilaturahmi, berbeda dengan kami yang akan melaksanakan misi pendakian ke Gunung Daik. Pukul 07.00 wib kami sudah sampai di Pelabuhan Punggur dan langsung membeli ticket PP Batam-Tanjung Pinang. Udara pagi hari di Pelabuhan Punggur terasa sejuk ditemani hangatnya sinar mentari pagi yang membangkitkan semangat kami berlima untuk memulai perjalanan ekspedisi ini. Pukul 08.00 wib kapal ferry sudah mulai menebar buih di lautan dan mengagetkan ikan-ikan yang lagi asyik mencari sarapan pagi, tandanya kami segera berlayar selama 1 jam menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pinang. Tepat pukul 09.00 wib kota Tanjung Pinang sudah menampakkan kemegahannnya. Perlahan para penumpang mulai turun untuk melanjutkan perjalanan berikutnya, begitu juga dengan kami yang langsung mencari tiket menuju ke Pulau Lingga tempat dimana Gunung Daik berada.

Tepat pukul 11.00 wib kapal ferry yang cukup perkasa ini menggerakkan baling-balingnya untuk berenang menuju Pulau Lingga. Selama ± 4 jam kami harus terapung di lautan. Panas terik matahari memberi hawa pengap di dalamnya yang bercampur dengan bau keringat orang-orang yang berdesakan berebut tempat duduk. Selama perjalanan, kapal singgah dibeberapa pulau untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.

Pukul 16.15wib sampailah kami di Pelabuhan Mepar (Dabo Singkep). Di sana kami bisa melihat Gunung Daik yang begitu perkasanya menjulang ke langit yang biru. Dari Pelabuhan Mepar kami masih harus naik pompong kira-kira 10 menit untuk menyeberang ke Pelabuhan Daik (Lingga), lalu naik ojek menuju Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Lingga. Selama perjalanan kami menikmati pemandangan kebun sagu yang berhektar-hektar luasnya. Disana kami disambut langsung oleh Bapak Ir. Muhammad Ishak, M.M atau biasa dipanggil Pak Ishak, beliau adalah Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Lingga. Selang beberapa menit datang seorang bapak yang mengenalkan dirinya dengan nama Bapak.Lazuardy atau biasa akrab dipanggil Bang Yardi, beliau ini ternyata seorang pengamat sejarah khususnya sejarah di Pulau Lingga.

Berkumandang suara adzan maghrib menggema di seluruh surau tempat berpijak, lantas diantarkan kami menuju tempat replikanya Kerajaan Lingga untuk bermalam. Gozy dan Dudy sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut malam. Sementara Babeh, Pungki & Arda membeli logistik untuk bekal pendakian besok. Secangkir kopi hangat dan sebatang rokok menemani kami dalam obrolan jenaka sebagai penghibur di tengah bangunan panggung berundak lima yang bernuansa klasik berbahan kayu berukir cantik.

Jum’at, 03 Oktober 2008

Suara adzan subuh terdengar sayup mengalun, pukul 06.00 wib matahari mulai menampakkan wajahnya yang ceria di sela-sela ranting pohon yang masih basah oleh embun pagi. Terlihat puing-puing bekas bangunan yang telah dihancurkan oleh Belanda terlihat kuat menyimpan beribu sejarah pada masa kejayaan Kerajaan Damnah. Kerajaan Damnah kepanjangan dari ”Redam Benah” atau kalau diartikan dengan bahasa kita ”Jauh Sangat”. Kenapa kerajaan itu dinamakan Damnah, karena memang jauh sangat mata memandang dari gerbang ke tempat situs kerajaan. Adapun Lingga berasal dari kata Ling (naga) dan Ge (gigi), yang berarti gigi naga. Bentuk dari ketiga puncak Gunung Daik yang menjulang tinggi itulah sebagai wujud dari asal muasal Lingga.

Selang beberapa menit Bang Yardi dan dua kawannya mengunjungi kami, ternyata merekalah yang akan menjadi guide kami di pendakian Gunung Daik dan akan memulai pendakian setelah shalat jum’at. Pendakian di Gunung Daik haruslah menggunakan guide (penunjuk jalan), hal tersebut dimaksudkan untuk mendampingi para pendaki agar tak tersesat karena rutenya yang masih alami dan banyak persimpangan jalan.

Pukul 14.00 wib cerita pendakian baru dimulai. Terlihat jelas keindahan ketiga puncak Gunung Daik dari Kabupaten Lingga yang merupakan gerbang pendakian kami. Perjalanan datar terus dilalui menembus hutan belantara. Selama di perjalanan kami jumpai para pekerja sedang menanamkan pipa-pipa untuk saluran air minum bagi penduduk sekitar. Setelah melewati sungai dengan aliran air yang kecil kami sudah sampai di Pos Gajeboh I pada pukul 14.45 wib. Sejenak melepas lelah sambil menikmati nuansa yang masih alami. Perjalanan pun dilanjutkan menelusuri jalan setapak menuju Pos Gajeboh II.

Pada pukul 16.30 wib tibalah kami di Pos Gajeboh II sekaligus sebagai tempat untuk bermalam. Suara gemercik Air Terjun Daik menggoda kami untuk berendam di dalam kolam yang begitu sangat jernih di antara bebatuan kali sebagai penampungnya, dan hutan yang lebat sebagai pelindungnya. Senjapun datang menjemput malam, semua perlengkapan tidur dan peralatan masak disiapkan untuk menyambut datangnya sang dewi malam. Perapian dibuat untuk menghangatkan disaat dingin menusuk tubuh. Gemercik aliran sungai serta suara binatang malam mulai mengiringi tidur kami di saat itu.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Teng… Alarm yang sudah dipasang menunjukan 01.00 wib, tengah malam yang dinanti telah datang berarti waktunya untuk memenuhi sebuah panggilan jiwa, begitulah para pendaki menyebutnya. Setelah menikmati kopi dan susu panas serta makan yang sudah disiapkan sebelumnya, tibalah melakukan pendakian menuju puncak (summit attack). Bintang-bintang bertaburan di atas sana, seakan langit bersahabat dengan pendakian kami.

Pukul 02.30 wib kami berdo’a untuk mendapatkan restu-Nya. Dengan cahaya senter kami bergerak perlahan menelusuri rekah dikesunyian. Rute mulai menanjak dan berbatu, sesekali tangan harus memegang akar pepohonan. Terkadang langkah terperosok dan terjatuh di rekahan bebatuan yang sangat licin karena lembab dan berlumut. Setapak demi setapak terus kami jejaki melewati rute Punggung Naga dengan sangat pasti dan hati-hati karena bila terperosok maka jatuhlah kami ke dalam jurang yang sangat dalam. Walau dengan usia yang sudah dibilang tidak lagi muda, terlihat Babeh terus bersemangat selalu berada di depan kami. Bravo buat Babeh..

Langkah kami terhenti tatkala berhadapan langsung dengan tebing vertikal yang menjulang ke angkasa. Inilah titik batas terakhir pendakian kami di ketinggian 1000 mdpl, yaitu Kaki Puncak Daik atau biasa penduduk sekitar menyebutnya Kandang Babi. Sunrise yang kami nantikan sirna terhalang awan putih yang saling berarakan. Puncaknya ± 165m dari tempat kami berpijak, tak dapat di daki karena kondisi bebatuannya yang rapuh dan vertikal. Vegetasi sekitarnya ditumbuhi dengan pohon cucuk atap, cantigi dan pakis hutan. Sedangkan satwa yang terdapat di sekitarnya yaitu burung murai batu, beo, babi hutan, ular piton & cobra. Suhu menunjukan 24ºC di termometer (alat pengukur suhu) dimana udara tak terlalu dingin tetapi kondisi tanah lembab dan berair, berarti menunjukan bahwa iklim di sekitar puncaknya adalah sub-tropis.

Sudah cukup puas kami menghabiskan waktu di kaki puncak dan saatnya kembali ke bawah untuk pulang. Dengan sangat ekstra hati-hati kami menuruni jalan bebatuan yang sangat licin. Siang memberikan panorama keindahan selama perjalanan turun. Hutan yang begitu rapat dan udara yang sangat segar. Semoga ’kan seperti ini sampai abadi, semoga.. Tak terasa kami telah melewati Punggung Naga hingga sampai di Pos Gajeboh II pada pukul 10.00 wib. Tiba-tiba hujan begitu derasnya mengguyur pos yang kami singgahi. Kami nikmati hidangan yang telah tersedia sambil menunggu hujan berhenti. Pukul 13.00 wib kami telusuri jalan turun melewati sungai-sungai dengan riak yang kecil, hingga sampai di gerbang pendakian yang sekaligus mengakhiri cerita kami di Gunung Daik.

Terima kasih kepada Bapak Ir. Muhammad Ishak, M.M (Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Lingga) dan Bapak Lazuardy (Tokoh Sejarah Lingga) atas segala dukungan dan kerjasamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar