Menggapai Langit Mencengkeram Matahari

Minggu, 20 Mei 2012

WISATA BEKASI


ASAL USUL BEKASI

Bekasi memiliki sejarah yang panjang...
Tumbuh dan berkembang seiring dengan hadirnya kali alam nan tua yang membentang dari selatan ke utara: Kali Bekasi.

Ahli filology Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka berkeyakinan, kata Bekasi berasal dari kata Candrabhaga, salah satu kata yang tertera dalam Prasasti Tugu.

Prasasti Tugu pertama kali ditemukan secara ilmiah pada 1878 di kampung Tugu, Cilincing, Bekasi (sejak 1970-an Cilincing masuk ke dalam wilayah DKI Jakarta). Tahun 1911 prasasti Tugu dipindahkan ke Museum Nasional, dan wujudnya bisa disaksikan sampai saat ini.

Pada awalnya prasasti Tugu dijadikan tontonan dan bahkan dikeramatkan warga yang percaya takhayul. Namun sejak dibaca dan diterjemahkan oleh peneliti Belanda, Prof. H. Kern, batu monolit besar berbentuk seperti telur tersebut dipastikan sebagai prasasti yang dibuat pada masa kerajaan Tarumanagara.

Para ahli arkeologi menyatakan, prasasti Tugu dibuat pada abad ke-5 Masehi oleh seorang raja Tarumanagara, bernama Purnawarman. Poerbatjaraka menguraikan kata Candrabhaga menjadi dua kata, yakni "Candra" dan "Bhaga". Kata "Candra" dalam bahasa Sanskerta adalah sama dengan kata "Sasi" dalam bahasa Jawa Kuno.

Akhirnya nama Candrabhaga diidentikkan dengan kata "Sasibhaga," yang diterjemahkan secara terbalik menjadi "Bhagasasi", dan lama kelamaan mengalami perubahan penulisan dan sebutan.
Beberapa arsip abad ke-19 sampai awal abad ke-20, menerakan kata Bekasi dengan "Backassie", "Backasie", "Bakassie", "Bekassie", "Bekassi", dan terakhir "Bekasi".

Jumat, 18 Mei 2012

PUISI SOE HOK GIE


MANDALAWANGI - PANGRANGO
Jakarta, 19 Juli 1966.  

Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbitjara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.


Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
 Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.

“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi jang tanda tanja
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar

Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup